Jakarta – Debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu hampir sepekan. Dalam debat tersebut, ketiganya telah menunjukkan kemampuannya dalam beradu gagasan mengenai Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, Energi dan Sumber Daya Alam, Pangan, Agraria, serta Masyarakat Adat dan Desa.
Di antara kandidat tersebut, siapa yang memiliki pemahaman dan komitmen paling kuat tentang isu keberlanjutan?
Secara umum, penulis melihat gagasan semua peserta debat memiliki irisan dengan berbagai inisiatif yang sudah dilakukan pemerintah periode sekarang. Diakui atau tidak, selama 10 tahun terakhir ada cukup banyak kebijakan pemerintah yang ditelurkan terkait dengan pembangunan sosial dan lingkungan berkelanjutan.
Di sektor keuangan misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai banyak kebijakan keuangan berkelanjutan. Sebutlah beberapa program seperti Green Bond, Green Taxonomy hingga SDGs Bond. Di Kementerian BUMN ada Permen mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan PROPER. Dan di Kementerian ESDM ada KepMen mengenai program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, Indonesia juga ikut dalam komitmen penurunan emisi karbon yang tertuang dalam dokumen NDC (dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Foto: Dr., Ing., Ir., Mahir Bayasut ST., MM-CSR. (dok. istimewa)
Isu Seksi Petani
Narasi tentang ketahanan pangan dan nasib petani selalu seksi untuk diangkat sebagai bahan perdebatan. Sebagai paslon yang mengusung visi keberlanjutan pemerintahan sekarang, cawapres nomor urut 2 dari Koalisi Indonesia Maju, Gibran Rakabuming Raka memberi penekanan pada kelanjutan program diversifikasi pangan yang sudah dilakukan pemerintah serta menyebut program smart farming untuk mendorong peran generasi muda.
Terkait keberlangsungan masa depan pangan Indonesia, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar menyoroti nasib kaum tani yang dipandang masih diabaikan oleh negara dan pemerintah. Segendang sepenarian, cawapres nomor urut 3 Mahfud MD juga mengkritisi keberadaan petani yang menurutnya belum berdaulat, meski ada ketentuan dalam aturan perundangan bahwa sumber daya alam (SDA) dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama.
Cawapres nomor urut 1 dan 3 terlihat kompak ketika mengkritisi program food estate yang dijalankan pemerintah. Program itu dianggap tidak menyertakan petani dan meninggalkan masyarakat adat, serta menghasilkan konflik agraria dan bahkan merusak lingkungan hidup.
Mahfud yang berlatar belakang profesor hukum juga mengingatkan definisi hutan adat yang dibedakan dari hutan negara untuk memastikan masyarakat adat tidak tersingkir dari hidupnya.
Secara teori, food estate memang memiliki potensi untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama dalam menghadapi krisis global. Namun di sisi lain, penulis sependapat dengan kedua kandidat tersebut, bahwa praktik food estate juga memiliki beberapa risiko keberlanjutan. Antara lain alih fungsi lahan yang dapat menyebabkan deforestasi, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sisi lain, kekhawatiran tentang dampak terhadap kesejahteraan petani lokal juga tidak bisa diabaikan karena pada umumnya proyek food estate dikelola oleh perusahaan swasta. Risiko ini, menurut penulis, bisa diatasi dengan konsep kemitraan demi prinsip keadilan dan meminimalisir potensi konflik sosial.
Hal lain yang cukup mencerahkan adalah janji cawapres nomor urut 1 untuk menjadikan desa sebagai titik tumpu pembangunan. Gagasan tersebut, menurut hemat penulis, merupakan pendekatan yang sangat tepat sebagai solusi pembangunan Indonesia yang lebih merata.
Meski belum berjalan sempurna, siapapun yang nanti menang dan berkuasa, bisa menjadikan program desa wisata yang diinisiasi pemerintah sekarang sebagai role model pembangunan desa.
Statement lain yang cukup menarik adalah prinsip etika lingkungan dan aspek keadilan yang diangkat oleh cawapres nomor 1. Terkait dengan itu, penulis menggarisbawahi statement cawapres nomor 3 bahwa pemerintah wajib melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengakui aktivis lingkungan sebagai subyek hukum.
Putusan yang keluar semasa Mahfud menjabat sebagai Ketua MK tersebut tentu sangat penting dalam perjuangan menegakkan hak asasi alam. Namun harus diperhatikan juga, bahwa semua memerlukan check and balance baik dari pihak otoritas dan juga pihak interest and preasure group (dalam hal ini aktivis lingkungan) demi menjaga agar tidak ada yang menyalahgunakan hak dan wewenangnya.
Foto: Rio Zakarias Widyandaru. (dok. istimewa)
Solusi Zaman Now dan Tobat Ekologis
Sesi terakhir dalam debat tersebut menjadi momen yang enternaining sekaligus filosofis ketika ketiga kandidat menyampaikan kesimpulan dan penegasan kembali program kerjanya. Gibran dengan era kekiniannya menyatakan bahwa masalah ‘zaman now’ hanya bisa diatasi dengan solusi ‘zaman now’.
Sekilas jargon itu terdengar atraktif, namun perlu dikaji lagi, benarkah semua masalah jaman sekarang hanya bisa diatasi dengan solusi ‘zaman now’?
Sebagai contoh, masalah perubahan iklim mungkin dapat diselesaikan dengan solusi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mengurangi gas emisi rumah kaca. Namun akan lebih tepat jika hal itu dikombinassikan dengan strategi ‘zaman old’ berupa penanaman pohon untuk menyerap CO2 di atmosfer.
Prinsip ini perlu ditegaskan kembali mengingat program food estate juga beriringan dengan isu pembabatan hutan ribuan hektar. Pada intinya, hal terpenting dalam penyelesaian masalah ekologis adalah komitmen dan kolaborasi, serta konsep yang menyeluruh, bukan parsial.
Statemen filosofis yang dilempar Muhaimin membuat sesi penutup menjadi penuh makna. Sebagai pengingat tentang bagaimana seharusnya kita berelasi dengan lingkungan, ia mengutip ayat Al-Quran dan narasi Pertobatan Ekologis yang dipopulerkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato si’ pada 2015.
Tobat ekologis adalah konsep yang mengacu pada proses pengakuan oleh manusia atas kontribusi mereka terhadap kerusakan lingkungan serta tindakan untuk menyembuhkan dan memperbaikinya. Dalam aspek pemerintahan, narasi ini tak ubahnya ajakan untuk selalu melihat dan mengakui kekurangan program, untuk kemudian menentukan langkah perbaikannya.
Mengutip jargon yang penulis rasa akan terus relevan; ‘Politik itu harus mengandung dua hal, esensi dan sensasi’, dapat kita saksikan bersama ketiga cawapres telah hadir dengan bobot esensi dan sensasi yang berbeda-beda. Namun sebagai rakyat, kita tentu berharap seluruh janji-janji manis itu benar-benar diwujudkan jika memimpin kelak. Bukan sekadar gimmick warna-warni untuk membius calon pemilih yang dibutuhkan suaranya.
*) Ketua Forum CSR Indonesia.
**) Praktisi CSR, Sustainability dan ESG. Saat ini menjabat sebagai Sekjen Forum CSR Indonesia.